Beranda | Artikel
Kita Masih Belajar dan [Harus] Terus Belajar
Sabtu, 25 Juli 2015

book-and-color-pencil-vector-174312

 

Segala puji bagi Allah yang telah mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada penghulu para nabi dan rasul, segenap sahabatnya, dan pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Belajar atau menimba ilmu adalah kebutuhan setiap insan. Karena ia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apa pun. Kemudian Allah mengaruniakan kepadanya pendengaran, penglihatan, dan hati agar mereka bersyukur kepada-Nya. Dengan belajar dan belajar seorang akan berusaha menyempurnakan dan memperbaiki dirinya. Sebaliknya, tanpa belajar seorang tidak akan bisa menyempurnakan diri atau memperbaiki kesalahannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia paling mulia saja diperintahkan oleh Allah untuk meminta tambahan ilmu, apalagi kita. Kita pun diperintahkan untuk memohon hidayah kepada Allah setiap hari dalam sholat kita; minimal 17 kali dalam sehari semalam. Hal itu menunjukkan dengan jelas besarnya kebutuhan hamba kepada ilmu dan petunjuk dari Rabbnya. Karena Allah lah yang maha mengetahui, sedangkan kita tidak mengetahui segalanya. Begitu pentingnya belajar, sampai-sampai ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah iqra’ (bacalah!).. Karena membaca adalah jalan untuk menimba ilmu.

Sehingga dari sini kita bisa memahami keagungan makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah pahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, para ulama adalah sebaik-baik bukti dan seindah-indah teladan dalam kehidupan ini. Karena para ulama disifati oleh Allah dengan rasa takut kepada-Nya, sebuah sifat yang disematkan oleh Allah bagi penghuni surga; dzalika liman khasyiya Rabbah (hal itu/surga, untuk orang yang takut kepada Rabbnya). Sementara di dalam surat Fathir, Allah menyatakan (yang artinya), “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” Sungguh keutamaan yang amat tinggi pada diri para ulama.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Kitab Al-Iman, bahwa setiap orang yang merasa takut kepada Allah maka pada hakikatnya dia adalah orang ‘alim/ahli ilmu. Bahkan, sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah rasa takut.” Karena itulah kita jumpai para sahabat Nabi -dengan kedalaman ilmunya- adalah sosok manusia yang berhiaskan rasa takut kepada Allah.

Orang-orang sekelas Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma adalah orang-orang yang keimanannya tidak diragukan, bahkan telah dijamin surga untuk mereka. Meskipun demikian, mereka tetap menyimpan rasa takut yang amat dalam kepada Allah dan pedihnya azab-Nya. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dan perasaan takut, sedangkan orang kafir/munafik memadukan antara berbuat buruk/dosa dan perasaan aman/tidak bersalah atau tidak bermasalah.”

Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu pernah mengatakan, “Seandainya ada yang berseru dari langit; masuklah kalian semua ke dalam surga kecuali satu. Maka aku takut kalau satu orang itu -yang tidak boleh masuk surga- adalah aku.”

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara mereka semuanya takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tiada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya sejajar dengan imannya Jibril dan Mika’il.”

Imam Bukhari rahimahullah juga membuat bab dalam kitab sahihnya di bagian Kitab Al-Iman dengan judul ‘Bab. Rasa Takut Seorang Mukmin akan Terhapusnya Amalnya dalam Keadaan Dia Tidak Menyadarinya’. Inilah bukti-bukti keteladanan generasi terdahulu umat ini, yang membuat mereka mulia di hadapan Allah. Mulia karena iman, mulia karena ketakwaan dan rasa takutnya kepada Allah. Inilah kemuliaan yang hakiki.

Seorang salaf pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling fakih diantara ahli Madinah?” beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa diantara mereka.” Ilmu generasi salaf/pendahulu umat ini adalah ilmu yang membuahkan rasa takut kepada Allah dan ketakwaan kepada-Nya. Sehingga ilmu itu membuat mereka mulia dan berjaya. Seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa para sahabat adalah ‘orang-orang yang paling baik hatinya diantara umat ini dan orang-orang yang paling dalam ilmunya’. Hati mereka disinari dengan keimanan, sehingga mereka membenci kekafiran, kefasikan dan segala bentuk kemaksiatan.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu tetap berada dalam kebodohan selama dia belum mengamalkan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkannya barulah dia menjadi orang yang ‘alim.” Orang-orang bijak mengatakan, bahwa ilmu adalah pohon sedangkan amal adalah buahnya. Maka sungguh tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak diamalkan. Ilmu yang hanya menjadi wawasan dan bahan perdebatan. Seperti keadaan ahli kitab yang digambarkan serupa dengan seekor keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Tentu keledai hanya bisa membawa kitab itu di atas punggungnya, namun ia tidak bisa memahaminya apalagi mengamalkannya.

Marilah kita bercermin… Marilah kita bercermin… Jangan-jangan keadaan kita jauh lebih buruk daripada keledai. Bisa jadi keadaan kita seperti anjing yang terus saja menjulurkan lidahnya; apakah dia dihalau atau dibiarkan. Anjing yang suka berkhianat dan rakus akan kesenangan yang semu dan hina. Dikatakan oleh sebagian salaf, “Apabila seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri (hawa nafsu) maka bisa jadi dalam pandangannya dirinya itu lebih rendah daripada anjing.”

Lihatlah orang-orang salih terdahulu sekelas Abdullah ibnul Mubarok rahimahullah. Beliau pernah mengatakan, “Aku mencintai orang-orang salih sementara aku -merasa- bukanlah termasuk golongan mereka.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika mendengar pujian orang lain tentangnya, beliau berkata, “Apabila seorang telah mengenali jati dirinya sendiri maka tidaklah bermanfaat baginya ucapan orang lain.”

Oleh sebab itu dikatakan oleh sebagian ulama, “Ikhlas itu adalah melupakan pandangan orang-orang dengan senantiasa memperhatikan pandangan Al-Khaliq.” Orang yang ikhlas adalah yang berbicara dan beramal karena Allah, bukan karena ingin sanjungan, balasan, atau sekedar ucapan terima kasih. Dia menyadari hakikat dan kedudukan dirinya sebagai hamba di hadapan Allah yang maha mulia. Allah yang maha mengetahui dosa-dosa dan keburukan-keburukan kita. Allah yang maha mengetahui apa-apa yang tersimpan di dalam hati kita. Allah yang mengetahui pandangan mata yang berkhianat dan apa-apa yang disembunyikan di dalam dada.

Betapa luhurnya ilmu generasi terdahulu umat ini, sampai-sampai mereka pun tidak berani memastikan amal-amalnya diterima di sisi Allah. Diantara mereka ada yang mengatakan, “Seandainya aku mengetahui ada sebuah sujudku yang diterima oleh Allah pastilah aku berangan-angan untuk mati sekarang juga.” Karena Allah hanya akan menerima amalan dari orang yang bertakwa; dan balasan bagi orang yang bertakwa adalah surga dengan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya.

Kita harus belajar untuk ikhlas. Lebih dari itu kita juga harus belajar untuk merasa takut kalau-kalau amal kita tidak diterima oleh Allah dalam keadaan kita tidak menyadari. Kita pun harus belajar untuk merasa bahwa diri kita ini bukanlah orang salih yang sejati. Kita harus belajar merasa khawatir akan nasib kita kelak di akhirat; di surga ataukah justru lebih pantas menetap di neraka. Kita harus belajar membersihkan hati kita dari ‘ujub, riya’ dan kesombongan. Kita harus belajar untuk menilai/merasa bahwa bisa jadi kondisi diri kita ini seperti keledai, atau bahkan lebih hina daripada seekor anjing. Oleh sebab itu, dikatakan oleh sebagian ulama bahwa hakikat orang yang zuhud itu adalah ‘yang melihat bahwa orang lain mungkin justru lebih zuhud dan lebih mulia daripada dirinya’.

Dalam kitabnya Al-Fawa’id, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Orang yang paling arif adalah yang menjadikan keluhannya tertuju kepada Allah -bukan kepada makhluk, pent- yang bersumber dari [kekurangan/kesalahan] dirinya sendiri, bukan dengan selalu menyalahkan manusia/orang lain.”

Lihatlah kejadian yang menimpa para Sahabat radhiyallahu’anhum ketika menghadapi kabilah Hawazin yang jumlahnya lebih sedikit dalam perang Hunain namun di awal pertempuran ‘berhasil’ membuat kocar-kacir pasukan Islam yang jumlahnya lebih besar. Apa sebabnya gerangan? Karena muncul sedikit perasaan ujub dalam diri sebagian mereka karena jumlah mereka yang besar, namun jumlah yang besar itu ternyata tiada berdaya tanpa bantuan dari Allah ta’ala.

Kita harus belajar dan terus belajar untuk meluruskan akidah dan hati kita dari segala penyimpangan. Janganlah kita merasa diri kita ini suci, Allah yang lebih mengetahui siapakah orang-orang yang bertakwa dengan sebenarnya.

Kegembiraan kaum beriman dengan hidayah dan ilmu yang Allah limpahkan kepada mereka bukanlah kegembiraan yang kebablasan. Bukan berbangga-bangga dan arogan dengan luasnya wawasan, deretan titel, kecerdasan, ketekunan, dan kesabaran. Kecerdasan, ketekunan, dan kesabaran itu semuanya harus digunakan di atas jalan yang benar dan juga harus dilandasi keikhlasan. Bukan untuk diobral di muka publik dalam rangka ‘unjuk kekuatan’ atau ‘mengoleksi pujian dan sanjungan’.

—————————————————————————————————————————–

Info Penerimaan Santri Baru :


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/kita-masih-belajar-dan-harus-terus-belajar/